Sebuah Perjalanan
Oleh: Arif Rahman Hakim
Dua
puluh tahun lalu, tangis keras mengiringi kelahiran saya di sebuah kota kecil
(re: kabupaten) bernama Sukabumi. Ya, sebuah tempat yang menjadi awal bagi saya
untuk menapaki indahnya jalan yang telah diciptakan Allahu rabbii. Saya hidup dan tumbuh seperti anak desa pada
umumnya. Penuh dengan canda dan tawa, bermain di kolam dan sawah, bermain sepak
bola dan sepeda, bernyanyi dan memukul meja sekolah seolah tabuhan gendang dan
drum, dan yang paling saya suka adalah bergembira di tengah hujan yang
mengguyur desa. Ah, senangnya masa sebelum dewasa. Hingga tibalah masa saya
ditunjukkan jalan selanjutnya, harus berpindah ke Lembang, karena pekerjaan
orang tua.
Kepercayaan awal
Jalan
selanjutnya, saya pindah bersekolah ke salah satu SD di desa. Teman baru,
lingkungan baru, tetangga baru, bahkan suatu pemberian yang baru. Hari-hari
pertama, saya menjadi pusat perhatian teman hingga guru di sekolah. Mulai dari
penampilan, asal, hingga nilai raport. Hasilnya, beberapa minggu kemudian
langsung ditunjuk oleh guru saya untuk mewakili sekolah dalam lomba cerdas
cermat dengan dalih nilai raport saya yang cukup baik. Boom! Benak saya
berkata, “Mengapa seorang Arif yang ditunjuk? padahal kelas memiliki
murid-murid teladan yang selalu ranking setiap tahunnya.” Kepercayaan guru saya membuahkan
hasil, saya dan Tim berhasil menjadi juara 2 lomba tersebut. Setelah kejadian
itu, nama saya tidak pernah absen dari delegasi perlombaan sekolah. Termasuk di
Madrasah tempat saya mengaji. Lagi-lagi saya dan Tim berhasil menjuarai lomba
cerdas cermat antar Madrasah Diniyah pertama kalinya. Jalan yang mulus luar
biasa.
Nilai-Nilai ke-Kota-an
Masa
SMP dan SMA saya diberi kesempatan untuk masuk ke sebuah pondok di luar kota.
Bisa dikatakan fase yang cukup panjang bagi saya untuk mengenal berbagai kebaikan
dan kenakalan sekaligus. Jalan baru dengan situasi dan lingkungan yang baru
pula. Spesialnya, teman-teman saya 80% berasal dari “Kota besar” dan “Orang
berada” dan tentunya membawa budaya dan pergaulan dari Kotanya.
Allah
masih ingin memberi saya jalan yang istimewa. Suatu ketika, pengumuman pemetaan
kelas SMP yang menyatakan saya masuk ke dalam kelas “Akselerasi” dan dengan
posisi nilai barisan teratas pula. Nilai-nilai “Kota” mulai masuk secara
perlahan. Beberapa kenakalan pun sempat dilakukan. Mulai dari yang kecil telat
ke sekolah, hingga merokok di asrama.
Singkat
cerita, saya lulus dari pondok dengan nilai yang cukup baik. Ditambah sedikit
bonus “status” menjadi rasa senang tersendiri. Tepat sekali, status baru selain
calon mahasiswa, tepatnya di satu hari sebelum Ujian Nasional SMA saya
mengutarakan perasaan kepada seorang wanita idaman, di hari ulang tahunnya yang
ke 17. So sweet? Mana ada! Astaghfirullahaladzim.
Kuliah bak FTV
Masuk
kuliah di kampus ternama adalah jalan selanjutnya yang Allah berikan. Dinamika
baru dimulai. Tahun pertama mencoba menjadi “Seseorang yang baru” ingin tampil
“cupu” dan hidup damai seperti mahasiswa FTV, sepertinya seru. Satu semester
saya habiskan untuk banyak bermain, nongkrong sembari ditemani petikan gitar di
ruangan penuh “asap”. Tanpa beban~
Sebuah Penjagaan
Di
suatu hari, selepas sholat dzuhur, saya bersandar di salah satu tiang selasar
masjid kampus, An-Nahl namanya. Teringat zaman ketika di pondok saya selalu
bersandar pada tiang masjid yang sama di waktu yang sama sembari membuka
mushaf. Ah, nikmatnya. Di sinilah awal datangnya “malaikat-malaikat penjaga”.
Berawal dari teman sholeh saya dan Ketua harian DKM yang menyapa dengan penuh
keramahan. Hingga akhirnya akrablah kami. Dari situ, saya tertarik bergabung
bersama DKM, ikut mentoring dan tentunya bertemu teman yang setidaknya selalu
mengingatkan. Luar biasa, betapa senangnya punya “malaikat-malaikat penjaga”
yang terlihat wujudnya. Herannya saya, mereka mau menerima seberapa buruk pun
keadaan saya dan tetap berusaha menjadi alarm yang setia~
Cinta oh Cinta...
“Seakan dunia, milik berduaa...”
Pengalan lagu Hivi-Remaja tadi
menggambarkan perasaan saya kala itu. Terjebak dalam fatamorgana keindahan
berpacaran tanpa status “Sah”. Astaghfirullah.
Nyatanya, “Dosa Unlimited”lah yang
didapatkan selama berpacaran. Asyik nya
berbincang di dunia maya, video call,
hingga jalan berdua semua dilakukan. Jarak Jatinangor-Bekasi tidak jadi
hambatan untuk bisa jalan berdua. Sekadar mampir ke rumahnya atau ke bioskop
terdekat tanpa sadar akan dosa unlimited
nya. Begitulah jika cinta bukan dalam fitrah-Nya, yang bisa membuat kita lupa
akan siksa-Nya, yang membuat saya rela sengsara di akhir bulan agar bisa
berbahagia sejenak dengan si “dia”. Saya harap Anda tidak terlena. Hingga
tibalah sebuah pertanyaan terngiang-ngiang dalam benak saya. “Rek Kitu Wae?”
mirip seperti kalimat Ust. Evie effendi dalam bukunya. Alhasil saya mengumpulkan keberanian untuk
keluar dari fatamorgana cinta selama 2,5 tahun ini. Cinta oh cinta.
Harmoni Kebaikan
Ini
cerita yang paling memberikan kesan. Kisahnya pun masih terus berlanjut, bahkan
hingga tulisan ini selesai dibuat. Kisah di mana hati-hati yang dipertemukan
dalam satu naungan kebermanfaatan, #HarmoniKebaikan. Singkat cerita, Allah yang
memberi saya jalan untuk menjadi manusia yang memiliki nilai guna lebih tinggi
dari sebelumnya. Dipertemukan dengan mentor-mentor hebat di DKM, terus mendapat
kepercayaan di BEM, hingga bertemu lingkaran pertemanan yang orientasinya untuk
kebaikan. Ah indahnya, hingga tibalah masa di mana yang muda menggantikan
generasi sebelumnya. Pergantian kepengurusan.
Sore
itu, saya diajak bertemu oleh beberapa mentor hebat di sebuah ruangan. Di meja
itu, kami berdialog panjang dan intinya, didorong untuk ikut dalam kontestasi
pemilu fakultas. Tak terbayang sebelumnya, walau dengan berat tapi jika untuk
kebaikan, saya berkata “InsyaaAllah
siap!”. Doa dipanjatkan, saya dan rekan saya (Izzuddin) mulai mempersiapkan.
Visi-misi, grand design, dsb. kami rancang hingga larut malam, hingga muncullah
#HarmoniKebaikan. Kemudahan terus ditunjukkan Allah kepada kami, bahkan tak
sulit untuk mengumpulkan berbagai persyaratan. Namun ketika pengumpulan berkas,
baru kami sadar. “Siapa yang akan jadi Timses kita?”. Mendaftar pemilu tanpa
timses merupakan sebuah kegilaan.
Allah
maha baik, teman terus berdatangan menawarkan bantuan. Hingga terbentuklah tim
#HarmoniKebaikan. Entah mengapa tim ini melebihi ekspektasi saya. Dari tim ini
saya merasakan indahnya persaudaraan, manisnya kepercayaan, syahdunya
keikhlasan, hingga yang luar biasanya saling mengingatkan dalan ketaatan. Ah
indahnya, bekerja tanpa bayaran, kondisi dana kampanye yang sangat menyedihkan,
banyak tekanan, ejekan hingga ujaran kebencian. Namun entah mengapa ada
kekuatan yang selalu merekatkan hati-hati kami untuk terus bersama, untuk
ikhlas menebar senyuman dan kebaikan.
Kampanye
terus dilakukan, walau publik beranggapan kami akan sulit memenangkan
pertandingan, tapi tim tetap solid dan ikhlas melakukan kegiatan-kegiatan,
salah satunya Aci. Ia bak seorang ibu dalam tim yang tak hentinya mengingatkan
untuk terus bersemangat dalam berjuang. Loyalitasnya tak diragukan, ketika
teman satu kelasnya mendukung yang lain, ia tetap teguh pada pendiriannya.
Perhitungan
suara berlangsung, ketika tim sebelah ramai membawa pasukan lengkap dengan alat
musik untuk perayaan, tim kami masih sempatnya membaca Al-Matsurat sebelum
prosesi. Hasil keluar, dan perolehan suara jauh dimenangkan oleh tim kami,
#HarmoniKebaikan. Luar biasa. Tak ada satupun dari tim yang mengira bahwa Allah
akan memberikan kemenangan dari semua kesederhanaan dan keterbatasan yang kami
miliki. Allah masih mau memberi jalan pada saya dan Tim untuk memberi manfaat
lebih. Saat itu hanya satu dalam pikir kami, Allah telah memberi kemenangan,
tinggal kita yang berusaha mewujudkan kejayaan.
Jalan
Percaya
atau tidak kawan, Allah maha baik. Allah selalu memberi dan menunjukkan
jalan-jalan di mana kita bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Seburuk apapun yang kita rasakan terhadap jalan itu, percayalah bahwa akan
selalu ada hikmah dari setiap jengkal dari jalan kita. Asalkan jalan yang kita
tempuh diniatkan demi kebaikan dan sesuai dengan aturan-Nya, maka Dia akan
menunjukkan kasih sayang Nya. Jangan lupa bahagia, jangan lupa berdoa, jangan
berhenti bertaubat. Allahu’alam.