Jumat, 14 Juni 2019

Sebuah Perjalanan

Sebuah Perjalanan

Oleh: Arif Rahman Hakim


Dua puluh tahun lalu, tangis keras mengiringi kelahiran saya di sebuah kota kecil (re: kabupaten) bernama Sukabumi. Ya, sebuah tempat yang menjadi awal bagi saya untuk menapaki indahnya jalan yang telah diciptakan Allahu rabbii. Saya hidup dan tumbuh seperti anak desa pada umumnya. Penuh dengan canda dan tawa, bermain di kolam dan sawah, bermain sepak bola dan sepeda, bernyanyi dan memukul meja sekolah seolah tabuhan gendang dan drum, dan yang paling saya suka adalah bergembira di tengah hujan yang mengguyur desa. Ah, senangnya masa sebelum dewasa. Hingga tibalah masa saya ditunjukkan jalan selanjutnya, harus berpindah ke Lembang, karena pekerjaan orang tua.


Kepercayaan awal
Jalan selanjutnya, saya pindah bersekolah ke salah satu SD di desa. Teman baru, lingkungan baru, tetangga baru, bahkan suatu pemberian yang baru. Hari-hari pertama, saya menjadi pusat perhatian teman hingga guru di sekolah. Mulai dari penampilan, asal, hingga nilai raport. Hasilnya, beberapa minggu kemudian langsung ditunjuk oleh guru saya untuk mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat dengan dalih nilai raport saya yang cukup baik. Boom! Benak saya berkata, “Mengapa seorang Arif yang ditunjuk? padahal kelas memiliki murid-murid teladan yang selalu ranking setiap tahunnya.” Kepercayaan guru saya membuahkan hasil, saya dan Tim berhasil menjadi juara 2 lomba tersebut. Setelah kejadian itu, nama saya tidak pernah absen dari delegasi perlombaan sekolah. Termasuk di Madrasah tempat saya mengaji. Lagi-lagi saya dan Tim berhasil menjuarai lomba cerdas cermat antar Madrasah Diniyah pertama kalinya. Jalan yang mulus luar biasa.

Nilai-Nilai ke-Kota-an
Masa SMP dan SMA saya diberi kesempatan untuk masuk ke sebuah pondok di luar kota. Bisa dikatakan fase yang cukup panjang bagi saya untuk mengenal berbagai kebaikan dan kenakalan sekaligus. Jalan baru dengan situasi dan lingkungan yang baru pula. Spesialnya, teman-teman saya 80% berasal dari “Kota besar” dan “Orang berada” dan tentunya membawa budaya dan pergaulan dari Kotanya.
Allah masih ingin memberi saya jalan yang istimewa. Suatu ketika, pengumuman pemetaan kelas SMP yang menyatakan saya masuk ke dalam kelas “Akselerasi” dan dengan posisi nilai barisan teratas pula. Nilai-nilai “Kota” mulai masuk secara perlahan. Beberapa kenakalan pun sempat dilakukan. Mulai dari yang kecil telat ke sekolah, hingga merokok di asrama.
Singkat cerita, saya lulus dari pondok dengan nilai yang cukup baik. Ditambah sedikit bonus “status” menjadi rasa senang tersendiri. Tepat sekali, status baru selain calon mahasiswa, tepatnya di satu hari sebelum Ujian Nasional SMA saya mengutarakan perasaan kepada seorang wanita idaman, di hari ulang tahunnya yang ke 17. So sweet? Mana ada! Astaghfirullahaladzim.

Kuliah bak FTV
Masuk kuliah di kampus ternama adalah jalan selanjutnya yang Allah berikan. Dinamika baru dimulai. Tahun pertama mencoba menjadi “Seseorang yang baru” ingin tampil “cupu” dan hidup damai seperti mahasiswa FTV, sepertinya seru. Satu semester saya habiskan untuk banyak bermain, nongkrong sembari ditemani petikan gitar di ruangan penuh “asap”. Tanpa beban~

Sebuah Penjagaan
Di suatu hari, selepas sholat dzuhur, saya bersandar di salah satu tiang selasar masjid kampus, An-Nahl namanya. Teringat zaman ketika di pondok saya selalu bersandar pada tiang masjid yang sama di waktu yang sama sembari membuka mushaf. Ah, nikmatnya. Di sinilah awal datangnya “malaikat-malaikat penjaga”. Berawal dari teman sholeh saya dan Ketua harian DKM yang menyapa dengan penuh keramahan. Hingga akhirnya akrablah kami. Dari situ, saya tertarik bergabung bersama DKM, ikut mentoring dan tentunya bertemu teman yang setidaknya selalu mengingatkan. Luar biasa, betapa senangnya punya “malaikat-malaikat penjaga” yang terlihat wujudnya. Herannya saya, mereka mau menerima seberapa buruk pun keadaan saya dan tetap berusaha menjadi alarm yang setia~

Cinta oh Cinta...
“Seakan dunia, milik berduaa...”
            Pengalan lagu Hivi-Remaja tadi menggambarkan perasaan saya kala itu. Terjebak dalam fatamorgana keindahan berpacaran tanpa status “Sah”. Astaghfirullah. Nyatanya, “Dosa Unlimited”lah yang didapatkan selama berpacaran.  Asyik nya berbincang di dunia maya, video call, hingga jalan berdua semua dilakukan. Jarak Jatinangor-Bekasi tidak jadi hambatan untuk bisa jalan berdua. Sekadar mampir ke rumahnya atau ke bioskop terdekat tanpa sadar akan dosa unlimited nya. Begitulah jika cinta bukan dalam fitrah-Nya, yang bisa membuat kita lupa akan siksa-Nya, yang membuat saya rela sengsara di akhir bulan agar bisa berbahagia sejenak dengan si “dia”. Saya harap Anda tidak terlena. Hingga tibalah sebuah pertanyaan terngiang-ngiang dalam benak saya. “Rek Kitu Wae?” mirip seperti kalimat Ust. Evie effendi dalam bukunya.  Alhasil saya mengumpulkan keberanian untuk keluar dari fatamorgana cinta selama 2,5 tahun ini.  Cinta oh cinta.

Harmoni Kebaikan
Ini cerita yang paling memberikan kesan. Kisahnya pun masih terus berlanjut, bahkan hingga tulisan ini selesai dibuat. Kisah di mana hati-hati yang dipertemukan dalam satu naungan kebermanfaatan, #HarmoniKebaikan. Singkat cerita, Allah yang memberi saya jalan untuk menjadi manusia yang memiliki nilai guna lebih tinggi dari sebelumnya. Dipertemukan dengan mentor-mentor hebat di DKM, terus mendapat kepercayaan di BEM, hingga bertemu lingkaran pertemanan yang orientasinya untuk kebaikan. Ah indahnya, hingga tibalah masa di mana yang muda menggantikan generasi sebelumnya. Pergantian kepengurusan.
Sore itu, saya diajak bertemu oleh beberapa mentor hebat di sebuah ruangan. Di meja itu, kami berdialog panjang dan intinya, didorong untuk ikut dalam kontestasi pemilu fakultas. Tak terbayang sebelumnya, walau dengan berat tapi jika untuk kebaikan, saya berkata “InsyaaAllah siap!”. Doa dipanjatkan, saya dan rekan saya (Izzuddin) mulai mempersiapkan. Visi-misi, grand design, dsb. kami rancang hingga larut malam, hingga muncullah #HarmoniKebaikan. Kemudahan terus ditunjukkan Allah kepada kami, bahkan tak sulit untuk mengumpulkan berbagai persyaratan. Namun ketika pengumpulan berkas, baru kami sadar. “Siapa yang akan jadi Timses kita?”. Mendaftar pemilu tanpa timses merupakan sebuah kegilaan.
Allah maha baik, teman terus berdatangan menawarkan bantuan. Hingga terbentuklah tim #HarmoniKebaikan. Entah mengapa tim ini melebihi ekspektasi saya. Dari tim ini saya merasakan indahnya persaudaraan, manisnya kepercayaan, syahdunya keikhlasan, hingga yang luar biasanya saling mengingatkan dalan ketaatan. Ah indahnya, bekerja tanpa bayaran, kondisi dana kampanye yang sangat menyedihkan, banyak tekanan, ejekan hingga ujaran kebencian. Namun entah mengapa ada kekuatan yang selalu merekatkan hati-hati kami untuk terus bersama, untuk ikhlas menebar senyuman dan kebaikan.
Kampanye terus dilakukan, walau publik beranggapan kami akan sulit memenangkan pertandingan, tapi tim tetap solid dan ikhlas melakukan kegiatan-kegiatan, salah satunya Aci. Ia bak seorang ibu dalam tim yang tak hentinya mengingatkan untuk terus bersemangat dalam berjuang. Loyalitasnya tak diragukan, ketika teman satu kelasnya mendukung yang lain, ia tetap teguh pada pendiriannya.
Perhitungan suara berlangsung, ketika tim sebelah ramai membawa pasukan lengkap dengan alat musik untuk perayaan, tim kami masih sempatnya membaca Al-Matsurat sebelum prosesi. Hasil keluar, dan perolehan suara jauh dimenangkan oleh tim kami, #HarmoniKebaikan. Luar biasa. Tak ada satupun dari tim yang mengira bahwa Allah akan memberikan kemenangan dari semua kesederhanaan dan keterbatasan yang kami miliki. Allah masih mau memberi jalan pada saya dan Tim untuk memberi manfaat lebih. Saat itu hanya satu dalam pikir kami, Allah telah memberi kemenangan, tinggal kita yang berusaha mewujudkan kejayaan.


Jalan
Percaya atau tidak kawan, Allah maha baik. Allah selalu memberi dan menunjukkan jalan-jalan di mana kita bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Seburuk apapun yang kita rasakan terhadap jalan itu, percayalah bahwa akan selalu ada hikmah dari setiap jengkal dari jalan kita. Asalkan jalan yang kita tempuh diniatkan demi kebaikan dan sesuai dengan aturan-Nya, maka Dia akan menunjukkan kasih sayang Nya. Jangan lupa bahagia, jangan lupa berdoa, jangan berhenti bertaubat. Allahu’alam.